Skip to content

Agama

  1. 1. Maslahah Mursalah

Seluruh hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT atas hamba-Nya dalam bentuk perintah atau larangan adalah mengandung mashlahah. Tidak ada hukum syara’ yang sepi dari mushlahah. Seluruh suruan Allah bagi manusia untuk melakukannya dan mengandung manfaat untuk dirinya baik secara langsung atau tidak. Manfaat itu ada yang dapat dirasakan nya pada waktu itu juga dan ada yang dirasakan sesudahnya. Begitu pula dengan semua larangan Allah untuk dijauhi manusia, di balik larangan itu terkandung kemaslahatan, yaitu terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan, dan Semua ulama sependapat tentang adanya kemaslahatan dalam hukum yang telah ditetapkan oleh Allah[1].

Maslahah mursalah Adalah kemaslahatan yang oleh syar’i tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya, tidaka ada dalil syara’ yang menunjukkan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu. Sehingga disebut mutlak karena tidak dibatasi oleh bukti dianggap atau bukti disia-siakan. Artinya bahwa penetapan suatu hukum itu tiada lain kecuali untuk menerapkan kemaslahatan umat manusia, yakni menarik suatu manfaat, menolak bahaya atau menghilangkan kesulitan umat manusia. Kemaslahatan itu tidak terbatas bagian-bagiannya dan tidak terbatas orang-perorang, akan tetapi kemaslahatan itu maju seiring dengan kemajuan peradaban dan berkembang sesuai perkembangan lingkungan[2]. Arti Mashlahah berasal dari kata shalaha yang berarti baik. Pengertian mashlahah dalam bahasa arab adalah perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, dimana menurut imam ghazali juga menjelaskan bahwa mashlahah mursalah yaitu mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’[3]

Alasan ulama menjadikan mashlahah mursalah sebagai hujjah

  1. a. Kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya, maka seandainya hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru, sesuai dengan perkembangan mereka dan penetapan hokum itu hanya berdasarkan anggapan syar’i saja, maka banyak kemaslahatan manusia di berbagai zaman dan tempat tidak ada
  2. b. Orang yang mau meneliti penetapan hukum yang dilakukan para sahabat nabi, tabi’in dan imam-imam mujtahid akan jelas bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi menerapkan kemaslahatan umum, bukan karena ada saksi dianggap oleh syar’i[4].

v Syarat mashlahah dijadikan sebagai hujjah

  1. a. Berupa kemaslahatan yang hakiki, dan tidak semu artinya penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya benar-benar menarik suatu manfaat/menolak bahaya
  2. b. Berupa kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi, artinya penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya dapat menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia/menolak bahaya dari mereka
  3. c. Penetapan hukum untuk kemaslahatan ini tidak boleh bertentangan dengan hukum atas dasar yang ditetapkan dengan nash atau ijmak

Alasan ulama yang tidak berhujjah dengan mashlahah mursalah

  1. a. Syariat itu sudah mencakup seluruh kemaslahatan manusia, baik dengan nash-nashnya maupun dengan apa yang yang ditunjukkan oleh kias
  2. b. Penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan umum adalah membuka kesempatan hawa nafsu manusia, seperti para pemimpin,penguasa, ulama pemberi fatwa, sebagian dari mereka kadang-kadang dikalahkan olehj keinginan nafsunya, sehingga mereka menghayalkan kerusakan sebagain kemaslahatan[5]
    1. 2. Pengertian Hajjiyat

Hajjiyat adalah segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan, artinya ketiadaan aspek hajjiyat ini tidak akan sampai mengancam eksistensi, karena Kebutuhan Hajjiyat tidak termasuk kebutuhan yang esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya karena kehidupan manusia tidak akan menjadi rusak, melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja[6].

Prinsip utama dalam aspek hajjiyat ini adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan taklif, dan memudahkan urusan manusia. Untuk maksud ini, islam menetapkan sejumlah ketentuan dalam beberapa bidang muamalat, dan uqubat (pidana). Dalam bidang ibadah, islam memberikan rukhsah (dispensasi) dan keringan bila seorang mukallaf mengalami kesulitan dalam menjalankan suatu kewajiban ibadahnya. Misalnya diperbolehkannya seseorang tidak berpuasa dalam bulan ramadhan karena ia dalam bepergian atau sakit, begitu pula dibolehkannya seorang mengqasharkan shalat bila ia sedang dalam bepergian dan bertayamum sebagai ganti wudhu’ atau mandi junub ketika ketiadaan air bersih atau tidak dapat menggunakan air.

  1. 3. Tujuan hajjiyat

Tujuan tingkat “sekunder” bagi kehidupan manusia ialah sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuri. Seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan meniadakan atau merusak kehidupan itu sendiri. Mekipun tidak sampai akan akan merusak kehidupan, namun keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dalam kehidupan. Tujuan syar’i dalam menetapkan hukum-hukum yang berupa  keringanan dan menghilangkan kesulitan, ditunjukkan seperti firman Allah SWT dalam (QS:Al baqarah) ayat 185

 

 

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”

  • Ø Tujuan hajjiyat dari segi penetapan hukumnya:
  • Hal yang disuruh syara’ melaklukannya untuk dapat melaksanakan kewajiban syara’ secara baik. Seperti mendirikan sekolah dalam hubungannya dengan menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas akal. Mendirikan sekolah memang perlu, namun seandainya sekolah tidak didirikan tidaklah berarti tidak akan tercapai upaya mendapatkan ilmu, karena ilmu itu dapat dilaksanakan diluar sekolah
  • Hal yang dilarang syara’ melakukannya untuk menghindarkan secara tidak langsung pelanggaran pada salah satu unsur yang dharuri. Perbuatan zina ada pada tingkat dharuri, dapat dijegah dengan tidak melakukan khalwat (berduaan dengan lawan jenis di tempat sepi), dan tindakan menutup pintu zina ini termasuk larangan pad tingkat hajjiyat
  • Segala bentuk kemudahan yang termasuk hokum rukhsah (kemudahan) yang memberi kemudahan bagi manusia. Sebenarnya tidak ada rukhsah pun tidak akan hilang salah satu unsur yang dharuri, namun manusia akan merasa kesulitan, seperti dibolehkannya seorang mengqasharkan shalat bila ia sedang dalam bepergian, apabila itu tidak dilakukan manusia tidak akan kehilangan syariat dalam ibadah, namun hanya akan mepersulit saja[7]

Dalam maqashid al syariah ada 5 pokok kemaslahatan, yang juga mendukung kebutuhan hajjiyat ini, yaitu:

  • Ø Memelihara agama (Hifzh al din)

Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh manusiasupaya martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk yang lain[8], seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat Al maidah ayat 3:

 

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.

Memelihara agama dalam hajjiyat yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindarkan kesulitan seperti adanya shalat jamak dan shalat qashar bagi orang yang sedang bepergian[9]. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya

  • Ø Memelihara Jiwa (Hifzh al Nafs)

Seperti di perbolehkan berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia melainkan hanya mempersulit dirinya[10]

  • Ø Memelihara akal (Hifzh al aql)

Manusia adalah makhluk Allah SWT yang palinh sempurna, yang dapat memebedakan manusia dengan makhluk lainnya, yaitu dengan adanya akal[11], seperti firman Allah dalam surat At tiin ayat 4

 

“ sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”

Memelihara akal dalam hajjiyat adalah seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan, sekiranya hal itu tidak dilakukan tidak akan merusak akal tetapi akan mempersulit diri seseorang dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan[12]

  • Memelihara keturunan (Hifzh al nasl)

Dalam islam mengatur pernikahan dan melarang adanya perbuatan zina, menetapkan siapa saja yang boleh dinikahi, bagaimana cara perkawinan dan syarat-syarat apa saja yang harus di penuhi dalam perkawinan. Sepert firman Allah dalam surat al isra’ ayat 32

 

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”[13]

  • Memelihara harta (Hifzh al mal)

Islam mensyariatkan peraturan-pertauran muamalat seperti jual beli, sewa, gadai, serta melarang adanya riba dan penipuan[14]. Seperti firman Allah dalam surat Al baqarah ayat 188:

 

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,padahal kamu mengetahui” .

Memelihara harta dalam hajjiyat seperti syariat tentang jual beli dengan salam, Apabila cara ini tidak dipakai maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan mordal[15]

 

 

 

  1. A. DAFTAR RUJUKAN

Syarifuddin Amir.  2008.Ushul Fiqh jilid 2 Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Koto Alaiddin. 2009. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (Sebuah Pengantar) Edisi Revisi. Jakarta: PT: Raja Grafindo Persada

Djamil Fathurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam.Jakarta: Logos wacana Ilmu

Khallaf Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikif. Jakarta: Darul Qalam, Kuwait

Haroen Nasrun. 1996 .Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

Syah Ismail Muhammad,dkk. 1992. Filsafat Hukum Islam.Jakarta: Bumi aksara


[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, 2008, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal  322

[2] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikif, 2003, Jakarta: Darul Qalam, Kuwait, hal  110

[3] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh,1996, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, hal  114

[4] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikif, 2003, Jakarta: Darul Qalam, Kuwait, hal  112

[5] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikif, 2003, Jakarta: Darul Qalam, Kuwait, hal  111-115

[6] Alaiddin Koto, “Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (Sebuah Pengantar) Edisi Revisi”, 2009, Jakarta: PT: Raja Grafindo Persada, Hal  123

[7] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, 2008, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal  213-214

[8] Ismail Muhammad Syah,dkk, Filsafat Hukum Islam, 1992, Jakarta: Bumi aksara hal 67

[9] Fathurrahman djamil,Filsafat Hukum Islam,1999, Jakarta: Logos wacana Ilmu hal  128

[10] Fathurrahman djamil,Filsafat Hukum Islam,1999, Jakarta: Logos wacana Ilmu hal  129

[11] Ismail Muhammad Syah,dkk, Filsafat Hukum Islam, 1992, Jakarta: Bumi aksara hal 75

[12] Fathurrahman djamil,Filsafat Hukum Islam,1999, Jakarta: Logos wacana Ilmu hal  129-130

[13] Ismail Muhammad Syah,dkk, Filsafat Hukum Islam, 1992, Jakarta: Bumi aksara hal 99

[14] Ibid hal 101

[15] Fathurrahman djamil,Filsafat Hukum Islam,1999, Jakarta: Logos wacana Ilmu hal  131

No comments yet

Leave a comment